Sejarah Desa
Pada zaman dahulu sebelum manusia mengenal teknologi, ada dua pengembara memiliki hubungan kakak-beradik yang bernama Ki Temeje dan Ki Lasari yang melakukan kegiatan mengembara nusantara di tanah Jawa dengan pasukan dan pengawalnya, dengan tujuan untuk melakukan kegiatan “babat alas”
Saat tiba di sebuah kaki gunung (Gunung Lawu), Ki Temeje memutuskan untuk menghentikan perjalanannya karena lelah dan hari sudah mulai petang. Ki Temeje beristirahat disebuah hutan yang sunyi dan menyeramkan (kini Desa Baron). Pada saat itulah, Ki Temeje memiliki niat untuk melakukan “babat alas” di daerah itu dan berniat untuk mendirikan sebuah desa dengan berdiskusi dengan adiknya, lalu ia pun setuju dengan ide kakaknya.
Keesokan harinya, saat hari sudah mulai terang Ki Temeje mulai melakukan pembagian tugas, dengan Ki Lasari mendapat bagian di sisi timur. Ki Lasari membawa sebagian pasukannya untuk membantunya melakukan alas di sisi timur seperti yang kakaknya perintahkan.
Singkat cerita, setelah beberapa hari berlalu, sang kakak (Ki Temeje) tak mendengar kabar dari sang adik (Ki Lasari). Kemudian ia mulai menuju sisi timur untuk mencari adiknya dengan membawa pasukannya. Ki Temeje menemukan Ki Lasari dengan keadaan tak bernyawa dengan banyak sekali luka gigitan binatang buas di badannya. Ki Temeje teramat sangat terpukul melihat keadaan sang adik yang mati dengan keadaan yang mengenaskan.
Lalu ia membawa mayat Ki Lasari dan pasukannya yang ikut mati tercabik oleh binatang buas ke arah barat untuk dimakamkan (kini makam itu disebut punden). Kemudian, Ki Temeje menancapkan keris pusaka Ki Lasari dibawah pohon besar (Asem Growong) sebagai simbol untuk menjaga masyarakat di desa itu agar terhindar dari bahaya yang dapat dilihat oleh mata maupun bahaya yang tidak terlihat oleh mata.
Ki Temeje mulai memberi nama disetiap tempat yang ia tebang mulai dari dusun JOTHANG, JETHIS, KWAGEAN, JAMPES dan GROBOGAN
Bukti fisik dari “babat alas” Ki Temeje dan Ki Lasari sampai saat ini masih bisa kita jumpai, namun ada juga bukti yang sudah sengaja dihilangkan. Bukti yang masih ada adalah makam punden yang ada di dusun Jothang tepatnya di RT 05/RW 01 yang sampai saat ini masih dijaga dan dirawat oleh masyarakat setempat.
Bukti yang sudah sengaja dihilangkan adalah pohon asem growong yang sudah ditebang sekitar tahun 2016 lalu, penebangan pohon itupun juga menuai kontroversi di kalangan masyarakat Jothang.